Pengawasan MBG Jadi Sorotan, Kewenangan Siapa?

ciamiszone.id :

CIAMIS.- Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Ciamis menjadi sorotan semua pihak, sehinga pengawasannya dijadikan materi dalam diskusi yang digelar PWI Ciamis yang bertajuk Ciamis Beri Kabar (Misbar) di Kantor PWI Kabaten Ciamis, Senin (8/9/2025).

Kehadiran Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Ciamis dari Fraksi Partai Demokrat, Nurmutaqin memperjelas belum maksimalnya pengawasan terhadap program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu.

Diakuinya, pihak legislative belum secara resmi terjun ke lapangan untuk melakukan pengawasan, namun baru sebatas menerima beberapa audensi dari masyarakat terkait program MBG.

Sebagai wakil rakyat, dirinya berinisiatif mencari informasi tekait pelaksanaan MBG di Kabupaten Ciamis, diperoleh data dari total 70 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berjalan, masih ada 14 yang belum resmi diluncurkan.

Dijelaskan Nurmutaqin, program MBG sejauh ini di Ciamis menyerap sekitar 2.068 tenaga kerja dengan jumlah penerima manfaat mencapai 155.827 orang. Data ini akan terus bergerak sesuai bergulirnya program nasional ini.

“Target penerima manfaat program MBG di Ciamis sebanyak 500 ribu orang, namun di lapangan masih ditemukan sejumlah kendala, terutama terkait pemenuhan gizi yang berbeda-beda di setiap dapur, dan masalah pada rasa makanan yang perlu ditelusuri lebih lanjut,” katanya.

Diakui, DPRD Ciamis belum melakukan pengawasan langsung karena program ini masih baru dan kendala regulasinya dari pihak Koordinator SPPG belum bisa menjelaskan lebih rinci terkait progres MBG di Ciamis. Namun, dari hasil audiensi Komisi D dengan masyarakat muncul sejumlah permasalahan MBG termasuk lebih detail urgensi fatwa higienis dari Dinas Kesehatan.

“Fatwa atau sertifikat higienis dari lembaga berwenang sangat penting. Ini PR besar. Jangan sampai program ini berjalan tanpa kejelasan standar higienitas,” tegasnya.

Selain itu, belum beroperasinya 14 dapur karena tidak adanya tenaga ahli gizi menjadi kendala, yang sebelumnya disediakan oleh BGN bersama Kepala SPPG dan seorang tenaga admistrasi/akunting berdasarkan aturan baru teryata BGN tidak menyediakan sehingga mitra BGN harus mencari seorang ahli gizi sendiri.

“Belum ada kejelasan status tenaga ahli gizi, apakah akan direkrut sebagai ASN atau tenaga kontrak. Hal ini menjadikan tenaga ahli harus memilih, apakah tetap bekerja di tempat sekarang atau harus pindah menjadi ahli gizi di SPPG. Ini sangat penting, jangan sampai generasi muda kita yang menjadi penerima manfaat justru terdampak jika tidak ada pengawasan gizi yang baik,” jelasnya.

Sementara narasumber lainnya dari Akademisi Universitas Galuh (Unigal) Ciamis, Hendra ‘Ebo’ Sukarman menilai, pengawasan program MBG tidak hanya menjadi tanggung jawab DPRD dan pemerintah daerah tetapi juga bisa melibatkan masyarakat yaitu perangkat organisasi lokal yang memiliki kualifikasi di bidang gizi maupun keuangan dan juga Ombudsmen.

Menurutnya, pengawasan harus dilakukan sejak proses produksi agar kualitas dan higienitas makanan benar-benar terjamin. Input dan outputnya harus jelas, dan peran aktif masyarakat bisa memperkuat pengawasan, terlebih memberdayakan masyarakat dari segi sumber daya lokal yang ada.

Hendra mengingatkan, regulasi sebenarnya sudah ada yaitu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berlaku untuk penyelenggaraan makanan, termasuk MBG.

“Namun, di Ciamis saat ini hanya ada dua dapur yang memiliki Sertifikat Laik Higien Sanitasi (SLHS), yaitu dapur di RSUD dan Lapas Ciamis. Apaah dapur MBG mengantongi SLHS?,” tegasnya.

Untuk itu, harus ada kejelasan regulasi terkait fungsi pengawasan dan jaminan kesehatan terhadap penerima manfaat. Terlebih memberi manfaat ekonomi untuk masyarakat lokal.

"Harus ada kententuan petunjuk teknis BGN, apakah aturan ini berlaku atau tidak, karena ini menjadi jaminan makanan yang diterima penerima manfaat higienis atau tidak," kata dia.

Sedangkan dari segi limbah, Hendra mengingatkan, sisa makanan  berpotensi menjadi pencemaran lingkungan, apalagi SPPG yang berada di tengah-tengah pemukiman. Maka Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) disetiap SPPG harus dalam kondisi yang benar.

"Jangan sampai Kabupaten Ciamis yang sudah mendapatkan kategori kota kecil terbersih se-Asean malah tercemar libah," pungkasnya. (EDA)*

Post a Comment

0 Comments